"Pola Hidup Masyarakat dan Perubahan Iklim sebagai Pemicu Gempa Bumi"
Oleh: Satria Efendi (Kanak Gawah)
ilustrasi |
Tidak pernah samar terdengar kalimat "Gempa Bumi Berkekuatan 7,0 Skala Richter (SR) pada Tahun 2018 Lalu telah Meluluh-lantahkan Lombok Utara". Hampir di setiap ingatan masyarakat Kabupaten Lombok Utara (KLU), kisah kelam tersebut menjadi memori hitam dalam kenangan, yang bahkan tetap diperingati setiap tahun sejak kejadian tersebut pada 5 Agustus 2018. Bahkan dalam setiap pidato atau sambutan yang disampaikan Bupati Lombok Utara kalimat itu nyaris tidak pernah abstain dalam tutur lisan Djohan Sjamsu.
Tidak cukup dengan Bupati Lombok Utara saja, Wakil Bupati Lombok Utara Danny Karter FR pun dalam penjelasannya saat diwawancara menyatakan, pihaknya melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) KLU telah berupaya meningkatkan mitigasi dan sosialisasi terhadap masyarakat guna mengantisipasi ancaman-ancaman gempa bumi selanjutnya.
Tidak ada yang berharap, memori kelam 2018 itu akan terjadi kembali, namun apa daya potensi selalu ada. Bahkan pada Tahun 2019 lalu dalam Press release Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dengan nomor GF.00.02/004/DG/VII/2019 dinyatakan, BMKG menyampaikan bahwa Indonesia sebagai wilayah yang aktif gempa bumi memiliki potensi gempa bumi yang dapat terjadi kapan saja dan dalam berbagai kekuatan. Berdasarkan kajian para ahli bahwa Zona Megathrust Selatan Jawa memiliki potensi gempa dengan Magnitudo Maksimum M 8,8.
Dikutip dari kumparan.com pada edisi 2 Maret 2023 Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menagaskan, Indonesia merupakan tempat terjadinya enam tumbukan lempeng. Di barat Pulau Sumatra, di sebelah selatan Pulau Jawa sampai Nusa Tenggara, di sekitar Indonesia timur Laut Banda, utara di Sulawesi utara, Papua, dan beberapa lempeng di Maluku Utara. Akibat tumbukan patahan terbagi menjadi segmen-segmen. Segmen megathrust mega besar (sangat besar).
BMKG mencatat sepanjang 2022 telah terjadi gempa bumi sebanyak 10.792 gempa di Indonesia. Dari semua gempa tersebut, ada 807 gempa yang dirasakan dan terjadi 22 kali gempa bumi yang merusak. Belum lama ini Presiden Jokowi juga menyampaikan pidato terkait besarnya ancaman gempa untuk Indonesia sebagai negara ke-tiga di dunia dengan ancaman bencana terbesar.
Demikianlah gambaran dari ancaman yang saat ini mengintai wilayah Indonesia, tidak terkecuali Nusa Tenggara Barat (NTB) begitupun dengan KLU. Kendati demikian, tulisan ini dibubuhkan bukan untuk memancing kembali memori runtuhnya kubah ibadah, atau patahnya pilar rumah 2018 lalu. Tujuannya sederhana, bagaimana mitigasi bencana menjadi bagian penting dari isi kepala warga.
Realitas yang tersaji saat ini khususnya di Lombok Utara masih kental dengan beton. Ribuan rumah warga masih terbangun dari tumpukan semen dan batu-bata, sementara menurut pengakuan masyarakat Lombok Utara, banyak kematian dan luka-luka saat gempa 2018 diakibatkan "tertimpa batu-bata". Memang tidak semua, tapi batu-bata menjadi senjata pembunuh yang efektif saat terjadi gempa.
Menurut data BPBD KLU, sejumlah 62.010 unit rumah tahan gempa (RTG) telah terbangun di Lombok Utara, anggap saja rumah-rumah tersebut memang sudah sesuai dengan aturan pembangunan tahan gempa. Kembali lagi pada realita, ada yang merupakan klasifikasi Rusak Berat (RB), rusak sedang (RS), dan rusak ringan (RR). Diketahui, RTG yang dibangun dari nol (0) dengan (dianggap) prosedur "tahan gempa" hanya rumah dengan skala kerusakan berat. Artinya tidak semua rumah dibangun murni dengan konsep tahan gempa. Seperti rumah yang skala kerusakannya sedang atau ringan, bahkan hanya melakukan penambalan atau penambahan terhadap bangunan rumah yang sudah ada.
Pada awal tahun ini, Pemda Lombok Utara meresmikan gedung kantor bupati tentu saja dengan bahan beton. Konon, katanya kantor bupati tersebut memiliki struktur tahan gempa hingga 9 Magnitudo atau SR. Beruntung, perhitungan tersebut lebih besar dari skala ancaman gempa yang disampaikan BMKG sekitar 8,8 SR. Semoga memang demikian kekuatannya, sehingga kantor bupati tersebut bisa dipandang sebagai sebuah keberhasilan mitigasi bencana, di bidang konstruksi, khususnya ketahanan terhadap gempa bumi.
Pada kenyataannya, masih banyak kantor pemerintahan yang dapat dikategorikan rawan dari bencana gempa bumi. Belum lagi rumah masyarakat yang bukan merupakan jenis RTG, kerentanan masih terlihat jelas dalam kondisi ini. Seolah-olah masyarakat lupa dengan memori kelam tersebut, seolah-olah ancaman yang telah dipublikasikan BMKG merupakan imajinasi halu para ahli semata. "Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa" begitulah kalimat-kalimat penenang jiwa dibaca.
Masyarakat masih ingat betul kejadian 2018 lalu, namun faktanya konsep mitigasi belum optimal, masyarakat terkesan acuh terhadap struktur-struktur beton yang saat ini menaungi tidur mereka, padahal ancaman sudah dipublikasikan oleh lembaga ahli. "Biarkan Tuhan Yang Melindungi Kami" kembali lagi kalimat itu terdengar menunjukan tingkat keimanan tinggi atau keputusasaan yang nyata? entahlah.
Antara Perubahan Iklim dan Gempa Bumi
Apakah mitigasi bencana gempa bumi, cukup dengan memperhatikan struktur bangunan dan unsur-unsur internal geologi semata? tentu saja tidak. Ternyata, gempa juga dipengaruhi oleh tingkat perubahan iklim. Indonesia sebagai daerah yang kaya dengan gunung berapi dan kemudian akrab disebut Ring of Fire memiliki kelebihannya sebagai daerah tropis yang hijau dan subur. Hutan Indonesia bahkan disebutkan menjadi bagian penting paru-paru dunia alias penghasil oksigen yang cukup besar.
Namun hijaunya Indonesia memiliki ancaman baru dari perubahan iklim yang kian hari kian rusak. Dirusak oleh sampah produksi, aktivitas industri, dan terutama sampah konsumsi seperti plastik misalnya. Intinya, manusialah yang merusaknya.
Dikutip dari jurnal EcoNusa, Jane Cunneen, Adjunct Research Fellow di Curtin University mengatakan bahwa perubahan iklim tak hanya mempengaruhi cuaca dan tinggi muka air laut, namun juga berdampak pada pergerakan lempeng bumi. Para ilmuwan lain mengatakan bahwa peristiwa gempa bumi, letusan gunung berapi, tanah longsor besar, dan tsunami dapat terjadi lebih sering akibat perubahan iklim.
"Krisis iklim tak hanya mempengaruhi lautan dan atmosfer, tapi juga seluruh kerak bumi,” ucap Bill McGuire, seorang ahli Vulkanologi dan Profesor Emeritus Geofisika dan Bahaya Iklim dari University College London
Menurut McGuire, bumi dan seluruh isinya adalah sistem interaktif yang saling mempengaruhi satu sama lain. Perubahan iklim yang menyebabkan mencairnya es di kutub utara membuat kerak bumi memantul kembali dan memicu pergerakan kerak bumi yang menyebabkan gempa bumi. Ketika gempa bumi terjadi, potensi terjadinya tanah longsor bawah laut pun meningkat, yang kemudian mengakibatkan terjadinya tsunami.
Sedangkan Chi-Ching Liu dari Institute of Earth Science di Taipei’s Academica Sinica juga membuktikan adanya hubungan antara perubahan iklim dengan gempa. Berdasarkan hasil penelitiannya yang diterbitkan dalam jurnal Nature pada tahun 2009, dia melihat bahwa saat terjadi bencana angin topan yang terjadi di Taiwan, di saat yang sama terjadi pula gempa bawah laut dengan magnitude kecil di bawah pulau. Dalam penelitiannya, Liu menjabarkan, tekanan atmosfer yang berkurang saat terjadi angin topan membuat patahan gempa di dalam kerak bumi bergerak lebih mudah, sehingga meningkatkan potensi gempa.
Para ilmuwan juga meyakini sejak tahun 1973, datangnya gelombang El Nino yang merupakan sebuah fenomena pemanasan suhu permukaan laut, berkaitan dengan frekuensi gempa bawah laut berkekuatan magnitudo 4 sampai 6. Ketika El Nino terjadi, permukaan air laut menjadi naik hingga puluhan sentimeter, dan membuat berat air pada bumi bertambah sehingga meningkatkan tekanan aliran fluida pada pori-pori batuan di dasar laut. Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya pergeseran lempeng bumi di dasar laut, yang menjadi gempa.
Perubahan iklim telah lama diketahui menyebabkan banyak kerusakan dan membawa berbagai ancaman bagi kehidupan di bumi, namun sayangnya hampir tidak disadari terdapat konsekuensi besar yang terjadi pada aspek geologis akibat laju perubahan iklim. Ini adalah pukulan keras bagi semua pihak untuk mulai mengambil aksi dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Dari pemaparan beberapa ilmuwan di atas, potensi gempa begitu erat kaitannya dengan perubahan iklim. Perubahan iklim tidak hanya mempengaruhi cuaca (atmosfer) dan permukaan laut, namun juga berdampak cukup signifikan bagi aktivitas geologi di dalam perut bumi seperti pergeseran lempeng tektonik dan aktivitas vulkanik.
Sementara itu, melihat kondisi Nusa Tenggara Barat (NTB) Khususnya Lombok Utara yang memiliki wilayah sekitar 60 persen hutan dari total wilayah teritorinya, pemerintah daerah setempat perlu melakukan revolusi terkait mitigasi perubahan iklim mulai dari pemaksimalan potensi hutan. Tentu saja bukan hanya Pemda KLU, pasalnya di Lombok Utara, kawasan hutan juga menjadi wilayah administrasi Provinsi NTB, adapun Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) yang terlibat dalam pengelolaannya.
Faktanya, terjadi penebangan pohon di berbagai area hutan yang cenderung dikuasai petani hutan dan perusahaan. Baru-baru ini beberapa dokumentasi terkait penebangan pohon yang cukup massif telah berhasil dirangkum tim Daily News. Berlokasi di sekitaran hutan yang dikelola para petani di Desa Santong, Kayangan, juga di Desa Selelos, Kecamatan Gangga, Lombok Utara.
Bukan tidak ada yang mengetahui penebangan pohon tersebut. Namun petani cenderung berdalih, jika Pohon-pohon besar di kawasan lahan yang digarapnya mengganggu pertumbuhan tanaman ekonomis yang ditanamnya. Beberapa pohon seperti Beringin, Koa, dan tumbuhan hutan lainnya dibabat dengan alasan jika dibiarkan akan mengganggu produktivitas kopi, cengkeh, durian, atau tanaman ekonomis lainnya.
Para pengawas seperti KPH juga terlihat dilema dalam menegakkan peraturan yang berlaku. Menegakkan aturan secara saklek berpotensi berbenturan dengan masyarakat yang memprioritaskan tanaman produksi dibanding tanaman penyangga air. Jika dibiarkan, maka hutan akan rusak secara sistematis oleh kegiatan para petani hutan. Perlu adanya solusi tepat dan tegas dalam menanggapi hal ini.
Pengetahuan masyarakat bahkan umumnya, selama ini penebangan hutan akan mengakibatkan banjir, longsor, hingga kekeringan. Padahal, perubahan iklim yang diakibatkan kerusakan hutan juga dapat memicu terjadinya bencana alam geologis, seperti gempa bumi megathrust yang potensi merusaknya begitu besar. Tidak jauh, selain gempa 2018 yang menewaskan lebih dari 300 orang di KLU, baru-baru ini lebih dari 50.000 jiwa tewas mengenaskan akibat bencana serupa di Turki dan Suriah.
Dengan potensi sebesar ini, semua pihak harus memiliki kesadaran secara kolektif terkait persoalan hutan tersebut. Satu pohon yang ditebang hari ini dapat berdampak pada angka magnitudo gempa yang akan terjadi di masa depan. Lombok Utara sebagai daerah yang memiliki kekayaan hutan harus lebih sensitif dalam menentukan konsep mitigasi perubahan iklim.
Kegiatan-kegiatan sederhana, dapat menyelamatkan masyarakat dari potensi ancaman gempa yang dikabarkan BMKG tersebut. Misalnya seperti penanaman pohon aktif dan berkala, memperkuat perlindungan terhadap hutan, memberikan edukasi yang masif serta pendampingan reguler bagi para petani hutan, agar tidak terjadi pembabatan yang tidak terbatas, hingga pada persoalan inovasi pengelolaan sampah plastik. Adapun yang lebih penting adalah kebijakan pemerintah yang tegas dalam menjaga hutan.
Pandangan semacam ini tidak cukup sebagai konsumsi pikiran pemerintah dari tingkat desa hingga pusat, lebih dari itu, kesadaran masyarakat secara kolektif perlu dibangun terutama masyarakat lingkar hutan yang kesehariannya bersentuhan langsung dengan paru-paru dunia tersebut.
Pada tahun 2020 lalu telah terbit Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) yang mempermudah investor mengakses hutan atau gunung sebagai objek investasi pariwisata. Hal ini, juga dianggap sebagian kalangan sebagai upaya mempersempit wilayah hijau. Kemudian, dinilai sebagai peraturan yang bertentangan dengan konsep pembangunan berbasis konservasi. Selain itu, peraturan menteri tersebut terlihat sebagai paradox jika disandingkan dengan pidato Presiden Jokowi baru-baru ini.
Perlu kiranya, membatasi investasi pariwisata atau pertambangan, terutama yang berkaitan dengan eksploitasi hutan, karena jika tidak, maka ancaman bencana menjadi semakin nyata. Keberlanjutan kehidupan bangsa, lestari atau mati, ada di tangan manusianya. (*)
Sumber:
https://econusa.id/id/ecoblog/perubahan-iklim-dan-pengaruhnya-terhadap-gempa-bumi/?utm_source=newsletter&utm_medium=email-januari-2023&utm_campaign=konten-econusa
https://kumparan.com/kumparannews/bmkg-urai-intensitas-gempa-di-ri-meningkat-signifikan-waspadai-zona-megathrust-1zw2O0bClUt